Selasa, 16 November 2010

Serba Serbi Kehidupan

Manusia tidak dapat mengukur apa yang Allah rencanakan. Begitupun dengan aku yang semula mengira hidupku ini akan kuhadapi paling tidak akan sedikit sama dengan gambaran, angan dan inginku selama ini. Tapi, sungguh diluar dugaan bahwa ternyata aku harus menjalani hidup yang sangat berbeda dari apa yang pernah aku angankan dulu. Tentang pekerjaan yang kujalani sampai pada fase perkawinan dan kehidupan rumah tanggaku. 

 
Pada awalnya semua yang aku jalani itu aku lakukan dengan terpaksa. Menjadi pengajar di sekolah, pada awalnya juga aku harus dipaksa untuk akhirnya aku bisa merasakan kenikmatan saat bisa menyampaikan ilmu dan kebaikan ke murid-murid. Dan itu bukan perkara yang mudah dan bisa dilakukan dalam waktu yang instant. Semuanya perlu proses. Syukur Alhamdulillah akhirnya aku bisa jalani itu dengan senang hati dan ikhlas.

Lalu, dalam fase terpenting alur kehidupanku,  akhirnya aku menikah. Tapi juga tidak seperti yang aku bayangkan dan khayalkan sejak dulu. Aku ingin sekali menikah dengan orang yang aku cintai, yang aku pilih sendiri. Aku sudah punya konsep yang indah tentang sebuah pernikahan dengan seseorang yang nantinya bisa kudampingi dia, ku siapkan tas kerjanya di pagi hari dan kusambut ia saat sore menjelang. Namun kenyataan berkata lain. Aku akhirnya harus menikah dengan orang yang tidak kukenal sebelumnya. Hidup bersama dengan orang yang sama sekali hatiku belum bisa menerimanya. Sungguh keadaaan itu cukup membuatku berada dalam dilema yang teramat sangat. Mungkin memang benar bahwa setan berperan sangat besar untuk menggoda manusia yang akan menghalalkan sebuah ta’aruf. Aku benar-benar pernah hampir kehilangan nalar sehatku dan berfikir untuk mengikuti keinginan hati melepaskan semua yang sudah ada. Aku tidak ingin perduli dengan keluargaku dan keluarganya yang saat itu sudah mulai terjalin setelah khitbah. Namun Allah masih menyayangiku. Ia tidak membiarkan aku mendapatkan penderitaan yang lebih dari penderitanku mengalami kegagalan menuju pernikahan dengan orang yang aku cintai.
Dan pada akhirnya aku tau, aku mengerti dengan semua pertanyaan yang satu persatu sudah Allah jawab melalui proses yang ku jalani. Allah tidak akan pernah salah memilihkan yang terbaik buat hambaNya. Aku sungguh tidak pernah menyangka kalau akhirnya aku bisa menerima suamiku dengan ikhlas. Bahkan aku mendapatkan kisah yang sangat indah dalam kehidupan rumah tanggaku. Meskipun aku harus terpisah dalam jarak yang jauh dan waktu yang tidak sebentar, namun aku sangat bersyukur dan sangat bahagia dengan adanya cinta yang indah antara kami. Allah telah memberikanku sebuah hadiah istimewa dengan seorang suami yang sangat menyayangiku, suami yang mampu aku jadikan sandaran, suami yang sangat…sangat sabar sampai kadang ku tidak percaya kalau didunia ini ada orang sesabar dia menghadapi aku yang labil ini. Aku merasakan kedamaian saat bersamanya. Dan aku merasakan kehilangan yang teramat sangat saat ia jauh dariku. Bersamanya, kemanjaanku dapat tersalurkan. Ia begitu pengertian dengan semua sifat manjaku. Aku seperti menjadi ratu saat bersamanya. Aku sungguh sangat bersyukur akan karunia itu.
Namun, kebahagiaan itu harus terpenggal dengan terpisahkannya aku dengannya dengan jarak yang jauh dan waktu yang sangat lama. Baru saja aku beradaptasi dengan adanya dia yang tiba-tiba masuk dalam kehidupanku yang tadinya serba sendiri, akhirnya aku harus terbiasa dengan adanya suami disampingku. Menemaninya, menghormatinya, melayaninya dan juga mendapatkan perhatiannya. Saat aku mulai merasakan indahnya ditemani, aku harus rela jalani hari dengan kesendirian. Saat kejenuhan datang, aku begitu labil karena kurasakan hal itu tidaklah adil buatku. Ada saat aku merasa jengkel dengan semua yang aku jalani. Aku telah bersuami, tapi mengapa aku masih harus melakukan banyak hal sendiri tanpanya. Apa bedanya dengan kesendirianku yang dulu.
Disaat-saat seperti itu aku begitu lemah dan rapuh. Segala sesuatu bisa jadi bermasalah meskipun hal itu sebenarnya adalah hal yang sepele. Ada saat aku benci orang terdekatku, begitu marah saat orang lain mencoba mengguruiku. Tak jarang kulampiaskan semua kekesalan itu padanya. Saat itu aku tidak perduli bahwa ia sendiri disana pasti sangat berat menghadapi hari-harinya yang dipenuhi dengan pekerjaan. Aku tidak lagi mau mendengarkan nasehat-nasehatnya yang sebenarnya sangat aku nantikan. Apa yang dilakukannya saat seperti itu bagiku adalah salah. Aku tidak butuh nasehat, aku tidak butuh pembanding dan aku tidak butuh cerita tentang selain diriku. Yang aku butuh saat itu adalah dekap tulus, belai lembut serta kecup hangatnya. Aku hanya butuh beberapa kata darinya.  “ iya…..,  aku tau ….., mas ngerti …..” , itu saja. Lalu aku akan menangis puas dipelukannya sampai lelah. Sampai tidak kuat mata bengkakku menahan lelah itu untuk kemudian tertidur, dan bangun esok hari dengan masih kudapati tangannya merengkuhku. Dan aku akan kembali temukan senyumku, karena aku tau ..ia perduli terhadapku. Namun, semua itu tidak kudapati. Tidak ada dada untuk kujadikan tempat menyandarkan diri. Tidak ada dekap tulus untukku bisa menumpahkan tangis. Dan tidak ada belai dan kata-kata lembutnya membelaku. Pun, saat aku tertidur karena benar-benar lelah, tak kutemukan rengkuhan tangannya dipinggangku saat kuterjaga dari tidur. Dia jauh. Hanya bisa kuungkap keluhku lewat pesan pendek ke hp nya. Hanya dengan suaranya, yang tidak bisa setiap saat bisa kudengar, meluluhkanku. Memintaku untuk bersabar dengan keadaan ini. Memintaku tatap kuat bertahan sendiri sementara tanpanya. Dan aku akan kembali menjadi wanita yang kuat. Aku meyakini bahwa aku bisa mengatasi semua sendiri. toh sebelumnya aku juga terbiasa jalani segala sesuatu sendiri.
Untuk suamiku……..
Maaf atas semua kata maaf yang telah ribuan kali terucap untukmu. Atas semua sikap dan kata yang kusadari itu salah. Maaf jika semua maaf itu belum cukup mampu mengubah aku menjadi istri idamanmu, istri yang solikhah. Aku masih saja luput dari sebutan itu. Selalu tergelincir dalam keegoan. Maaf, karena aku tidak bisa menyembunyikan perihku sendiri untuk dapat membalut perihmu. Maaf, karena aku tidak selalu tersenyum saat engkau memandangku. Maaf, karena aku masih saja tidak bisa menahan diri untuk berkeluh, untuk sekedar mendengar sedikit keluhmu. Maaf, karena aku tidak bisa meredam tangisku untuk bisa ikut tertawa dalam bahagiamu. Maaf, karena aku tidak jua bisa berhenti buatmu untuk tidak khawatirkan aku. Jauh didasar hatiku, aku ingin jadi cahayamu, bahagiamu, rindumu, tawamu dan menjadi kisah termanismu. Sungguh, aku ingin jadi wanita terbaikmu didunia ini.

Saat ini aku tengah menunggu belahan jiwaku pulang setelah hampir 8 bulan lamanya kami terpisah jarak dan waktu. Begitu inginnya aku agar ia cepat sampai rumah. Aku ingin sekali bisa bersamanya lagi, meneruskan masa ta’aruf kami yang sempat tertunda. Aku ingin bisa melihatnya lagi ada dihadapanku, memberinya kebahagiaan semampu aku membahagiakannya.
            Hari berganti. Tak terasa sudah 1 bulan lamanya aku kembali bisa merasakan hari-hari layaknya sebuah keluarga. Dan semua yang dibayangkan indah pun  akhirnya terwujud. Aku kembali mempunyai seseorang yang bisa kuajak berbagi cerita kapanpun aku mau. Aku tidak lagi merasakan kedinginan saat tidur malam hari karena ada dekap hangat yang senantiasa menemaniku. Ada seseorang yang sangat perhatian disisiku, juga ada teman untukku bercanda tawa. Aku sangat menikmatinya. Namun, seiring waktu berjalan, sedikit demi sedikit sentilan dari Allah datang menguji kekuatan komitment kami yang pernah berikrar akan menerima pasangannya apa adanya. Ikhlas hanya karena Allah. Berjalan diatas niat baik yang sudah kami tanamkan pada awal kami memutuskan menikah yaitu niat Bismillahi tawakkaltu Alallah. Namun, ternyata semua itu tidak semudah ketika kita mengucapkannya. Ada banyak tantangan untuk bisa mewujudkan semua itu tetap pada koridor yang semestinya.
            Hari-hari ini aku mulai diserang demam ketidak cocokan. Bukan hal besar dan mendasar, namun cukup mengganggu. Sebenarnya mungkin bagi orang-orang tertentu hal-hal kecil yang saat ini tengah mengangguku bukanlah masalah, namun buatku rasa itu tetap menjadi ganjalan. Sebenarnya aku menyadari semua ini adalah proses. Dalam sebuah perjalanan perkawinan sangatlah wajar jika masing-masing dari pasangan menemukan hal-hal yang tidak ia sukai ada di pasangannya, teman hidupnya, orang yang ada dihadapannya setiap hari, orang yang harus ia layani dan hormati setiap saat.
            Aku sangat ingin menghargai suamiku, ingin menempatkannya sebagai imam yang kujunjung tinggi keberadaannya dalam rumah tanggaku. Namun terkadang sering aku terpeleset dengan adanya hal-hal yang tidak aku sukai ada padanya. Dulu aku paling tidak respect dengan orang yang tidak bisa menempatkan kesantunan terhadap orang lain. Pada akhirnya sekarang aku harus menemukan sedikit di suami. Terkadang kuamati saat  suamiku berbicara. Dia sering sekali mengumpat meskipun hanya dalam gumaman yang hanya didengar aku dan dia. Cara dia menanggapi pembicaraan terasa sangat premanis ditelingaku, tidak terdengar santun. Dan masih banyak lagi hal-hal kecil lainnya yang dulu menjadi black list ‘laki-laki sejatiku’. Tenyata idealisme itu masih ada dalam diriku. Bagaimanapun, sebagai seorang istri aku berhak untuk mendapatkan suami yang santun baik untuk diriku sendiri maupun saat harus bersosialisasi dengan orang lain. Dan disisi lain, aku menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada kesempurnaan lain didunia ini kecuali kesempurnaan Allah. Akupun jauh dari sosok ideal yang mungkin diinginkannya sebagai seorang istri. Dan aku akan bersabar sembari belajar menyesuaikan diri dan mengubahnya dengan perlahan. Hidup ini adalah proses. Dan aku harus juga mengikuti alur itu untuk sampai pada tujuan hidup kami yang sesungguhnya.
            I tahun sudah usia perkawinanku berbilang. Aku melewati hari-hari bersamanya dengan bahagia. Kulalui segala yang tak sefaham denganku sebagai bagian dari proses yang mesti dijalani. Dengan jatah kepulangan yang hanya sebentar, membuatku begitu ingin mengganti waktu bersamanya yang telah hilang menjadi milikku seutuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak akan bisa untuk sepenuhnya mengikatnya hanya untukku. Masih ada keluarga yang juga membutuhkan perhatian dan tanggung jawabnya. Dan akupun tidak ingin menghalanginya untuk tetap menunjukkan baktinya terhadap kedua orang tuanya dan keluarganya. Namun, terkadang aku begitu cemburu dengan waktuku yang tercuri untuk keluarganya. Aku merasa dia belum benar-benar ikhlas untuk menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga dalam pernikahan kami. Seolah dia belum rela untuk melepaskan perannya sebagai seorang anak. Seolah aku tidak memberikan peran dalam kebahagiaannya. Selama dia dirumah, hampir setiap hari ada saat dia harus melibatkan keluarganya. Dari mulai berkunjung kerumah orang tuanya, kakaknya dan ketempat sodara-sodaranya dengan alasan bersilaturahmi selagi dirumah karena waktunya yang cuma sebentar. Bahkan, sekalipun dirumah dan tidak pergi kemana-mana, ia tidak akan lupa dengan urusan keluarganya, dengan menelfon atau sekedar mengutarakan keinginannya untuk datang kesana. Aku tidak akan memisahkan dia dari keluarganya. Aku tau diri sepenuhnya akan keberadaanku yang baru sejengkal dalam kehidupannya tidak mungkin dapat menggantikan keberadaan orang tua dan keluarganya yang telah mendarah daging seumur hidupnya sampai ia kemudian menikah denganku. Akupun ingin menjalin hubungan yang erat dan harmonis dengan mereka, karena mereka juga adalah bagian dari kehidupanku. Orang tuanya telah menjadi orang tuaku juga yang sekarang kumasukkan dalam daftar doa Allahummaghfirli wali wali dayya warkhamhuma kama rabbayani soghiro ku. Tapi taukah dia akan perasaanku yang merasa terambil hakku karena ia lebih mementingkan keluarganya? Tidak bisakah ia sedikit adil dalam membagi porsi perhatiannya?
Selama 8 bulan bertahan sendirian tanpanya adalah bukan hal yang mudah. Kusimpan harapanku untuk bisa merajut waktuku bersamanya sembari menunggu kepulangannya. Kurekam kuat dalam benakku janjinya akan mengganti semua waktu yang hilang saat pulang nanti. Dia selalu bilang bahwa dia akan memanjakanku menggantikan ketegaranku selama tanpanya. Dia juga bilang akan menyerahkan dirinya utuh untukku menggantikan waktuku yang hilang bersamanya. Tidak jarang juga dia bilang kalau dia akan selalu ada untukku, akan menuruti kemauanku, akan mengantarkan kemanapun aku ingin pergi. Tapi, setelah ada disampingku dia lupa. Mungkin baginya cukup sudah aku ada disampingnya saat itu. Tidak perduli lagi akan kesendirianku selama ditinggalkannya. Tidak ingat lagi akan kata-kata manisnya yang selalu menyalakan kembali semangatku.
            Melangkah di tahun pertama pernikahanku, mulai kutemukan kerikil yang mulai terasa sakit saat kuinjak. Aku harus rela mendapati perhatiannya tak setulus dan semanis saat ia jauh. Aku sering menangis karena kurasakan hatinya yang beku. Kucoba menghibur diri dengan mengembalikan pada keyakinanku bahwa semua ini adalah sebuah proses pendewasaan dalam perkawinan. Akupun harus menyadari bahwa the life doesn’t always go my way. Aku harus belajar menerima apa yang sebelumnya tidak dapat kuterima. Aku menempatkan pernikahan adalah sesuatu yang sangat suci, dan insya Allah selamanya akan kujaga dan kuperjuangkan kehormatannya. Namun, seringkali aku kalah. Terlalu banyak kutampung kekecewaan hanya untukku sendiri, sampai terkadang hampir tak terbendung dan kuluapkan dengan membanting barang-barang. Aku menjadi lebih labil daripada saat aku sendiri tanpanya. Sepertinya bukan terbagi bebanku dengan keberadaannya namun malah terjejal penuh otakku. Pada akhirnya selalu kutemui kata maaf darinya. Namun, masih tidak merubah apapun sampai saat dia harus berangkat dan kembali meninggalkanku dalam kesendirian selama berbulan-bulan kedepan.

            Hampir 3 minggu aku kembali jalani hari sendiri. Beberapa hari terakhir sampai detik ini aku menulis, perasaanku terasa sangat hambar. Sudah dua email panjang aku tulis untuk suamiku, sekedar membagi perasaanku yang tengah gundah. Pada awal keberangkatannya aku masih menikmati kesendirianku. Sedikit merasa terbebas dari beban kecewaku terhadapnya. Rehat sejenak dari penatku yang selalu merasa tercurangi hak ku olehnya. Aku menikmati kebebasanku sesaat. Namun belum 1 bulan berlalu, aku sudah kembali labil. Aku membutuhkannya. Aku merindukannya. Mendambakan saat-saat bersamanya kembali. Dipisahkan ternyata memang obat yang paling mujarab untuk mengobati luka yang telah lalu. Setelah seseorang tidak lagi berada disisi, barulah ia terasa sangat berarti. Aku kembali mendapati suamiku yang selalu bilang bahwa dia merindukanku disetiap sms dan telfonnya. Dan aku bahagia akan itu. Aku kembali punya arti baginya. Namun dalam setiap kalimatnya akan saat nanti yang lebih indah, terasa ada sedikit penolakan untuk aku meyakininya. Aku tidak mau lagi dibuai dengan harapan yang tinggi seperti waktu itu, aku tidak mau lagi dapati kenyataan yang jauh dari harapan yang sudah terlanjur tinggi itu. Aku hanya akan menunggu bagaimana nanti waktu dan pengalaman kemarin akan berpihak. Apakah aku akan dapatkan hakku sepenuhnya sebagai orang yang baru dalam kehidupannya, ataukah aku akan tetap harus rela hakku terambil karena ketidakrelaannya melepas statusnya sebagai anak.

          50 hari menjelang kepulangannya
Malam ini aku hanya ingin membunuh kejenuhan setelah seharian tadi aku disibukkan dengan sakit menstruasiku. Sebenernya sudah cukup larut untukku terus menatap laptop ini, namun aku ingin sedikit berbagi setelah lumayan lama aku tidak sempat menulis.
            Sebentar lagi suamiku pulang. Hanya tinggal hitungan sebulan setengah lagi InsyaAllah kami akan bertemu. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan dalam perjalanannya pulang dan memberikan kesehatan untuk kami berdua pada saat pertemuan nanti.
#
To be continued............

Tidak ada komentar: