(Koleksi 06 Febuari 2001)
Detak jam dinding terasa nyaring berbunyi
Kutebar pandang garis menerawang
Putih terbalut cat tipis dinding kamarku
Tiga bercak noda masih nyata disitu.
Aku tlah lalai menjaga keputihannya
Aku tlah lupa menjaga kesuciannya
Kini tembokku tlah bernoda
Tembokku tak lagi putih
Bentengku tak lagi kukuh suci
Batasku kini tiada indah lagi
Kupandang…..
Sesal selalu terbawa kemudian
Tak ada air mata
Tak ada rintihan tangis
Karna aku tak lagi bisa menangis
Aku tak bisa bicara
Diamku melindungi
Tatapku lebih berseribu arti.
Usiaku
saat itu kira-kira 19 tahun. Masih di tahun pertamaku kuliah diluar kota. Pertama kalinya aku
harus menghadapi kehidupan jauh dari rumah dan dari orang-orang terdekat. Jadi,
saat-saat berlibur amat sangat aku rindukan. Aku selalu rindu pada kamarku.
Dimana dulu setiap saat aku habiskan banyak waktu disana untuk membaca atau
membuat cerpen dan puisi.
Suatu
malam saat berada dikamar, aku menemukan cat air sisa pelajaran Seni Rupa saat
SMU. Iseng, aku memainkannya, memencet tube nya…dan akhirnya isi cat air itu memuncrat
ke tembok kamarku. Segera aku membersihkannya dengan kain lap, kubasahi juga
dengan air namun noda itu tetap ada ditembok. Akhirnya setiap kali aku masuk
kamar, aku selalu terganggu dengan bercak-bercak noda itu. Aku menyesal sekali
telah mengotorinya, membuatnya tidak lagi indah dipandang mata.
Pada
akhirnya, noda-noda itu membawaku pada perenungan tentang hidup yang tengah aku
jalani. Tentang konflik batin yang tengah aku alami dalam sebuah rasa kecewa
terhadap diri sendiri. Dari mulai aku tumbuh remaja, aku bukanlah gadis yang
extrovert. Aku cenderung menutup diri dan selalu berhati-hati dalam berbicara
ataupun bertindak. Aku memegang teguh prinsip yang pantang untuk aku langgar.
Namun, pada awal menuju kedewasaanku, aku mulai berontak terhadap
prinsip-prinsip itu. Jiwa remajaku saat itu memberontak, ingin melakukan apa
yang aku mau tanpa harus perduli dengan segala prinsip itu. Dan akhirnya aku
kalah. Aku merasa tidak lagi menjadi orang yang baik.. Aku telah kalah oleh
nafsuku untuk tidak lagi perduli dengan anggapan orang lain. Aku menyesali dengan yang terjadi. Namun
bagaimanapun itu telah menjadi noda pertama dalam hidupku. Keluar dari jalurku.
Dan kugambarkan bahwa meskipun dalam diamku, sesungguhnya aku menyesali semua
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar